Setelah kedua pasangan diadati, kedua marga tersebut akan selalu terlibat bersama dalam segala aktivitas adat dan kehidupan pasangan ter...
Setelah kedua pasangan diadati, kedua marga tersebut akan selalu terlibat bersama dalam segala aktivitas adat dan kehidupan pasangan tersebut kemana pun nantinya pasangan itu bermukim. Ini karena prinsip semarga (mardongan tubu) adalah “si sada anak si sada boru”.
Perempuan yang telah menjadi istri suatu marga disebut paniaran (nyonya marga). Maka, seorang perempuan yang telah menikah akan menyebut marga suaminya sebagai marganya sebab dia telah melebur menjadi paniaran marga suaminya, tetapi jika ditanya boru apa, dia menyebut marga bapaknya.
Dapatlah disimpulkan, sejak menikah, perempuan telah menyatu dengan klan marga suaminya, atau sudah menjadi hak pihak suaminya. Nah, ito dan lae,sekarang sudah bisa dipahami kan bagaimana dalamnya suatu perkawinan dalam adat Batak.
Belum lagi jika di lihat dari waktu dan biaya yang dikeluarkan kedua pihak terutama pihak paranak (pria) sejak awal proses adat perkawinan tersebut.
Melalui tahapan adat yang panjang, menghabiskan waktu dan biaya yang besar, semua menyadari betapa untuk memulai suatu perkawinan dibutuhkan persiapan matang, tidak asal pilih serta harus diikat cinta kasih (holong).
Akibat hal itulah suami istri orang Batak sangat sulit untuk bercerai (marsirang) apalagi sudah gabe/maranak marboru (punya anak laki-laki dan perempuan). Untuk melangkah pada perceraian saja kedua pihak marga pasangan tersebut akan menentang habis-habisan sebab sudah gabe, salah satu tangga dasar 3 tujuan hidup orang Batak: Hagabeon, Hamoraon, Hasangapon.
Pria orang Batak tidak boleh menceraikan istrinya kecuali karena kematian atau mahilolong (perempuan meninggalkan suaminya oleh suatu hal) atau karena marmainan (istri selingkuh). Sebab, yang diikat dalam adat sulit dilepas ikatannya apalagi telah punya anak, (marbulung tu ginjang, marurat tu toru).
Para raja adat utamanya unsur dalihan na tolu akan berusaha agar perkawinan itu dapat dipertahankan.
Jikapun harus bercerai maka harus diadakan rapat adat dari kedua pihak.
Harus ada persetujuan para tetua adat atas keinginan bercerai pasangan tersebut dengan alasan yang dapat diterima oleh semua pihak. Setelah itu, perceraian dianggap sah karena telah dipagoi dengan mencabut tuhe (patok pertanda batas kepemilikan). Tentunya dengan konsekuensi tertentu yang harus dipikul kedua pihak.
Nah, ito dan lae kini sudah kan mulai paham perkawinan sesuai adat Batak bukan. Maka hati-hatilah memilih calon istri atau suami.
Juga pahamilah dasar utama perkawinan adalah kasih (holong) dan saling menerima kekurangan pasangan (marpanganju). Dengan begitu tidak perlu lagi ada perceraian keluarga orang Batak.
Adat batak tidak mentolerir perselingkuhan.
Perceraian adat Batak secara konsep adalah mengembalikan (membatalkan) sinamot, ulos hela, dan segala kelengkapan yang diberikan ketika pernikahan adat. Cerai jarang sekali diterima masyarakat karena bukan hanya memisah suami-istri, tapi memisah dua keluarga besar. Maka ada ungkapan canda S3 singkatan “sirang so sirang”, ga jelas perceraiannya.Sumber : https://www.hitabatak.com/alasan-orang-batak-dilarang-keras-bercerai/
No comments
Harap memberikan komentar yang mendukung kemajuan blog ini.
Terimakasih!!!