Sipaha Lima. Foto : Kemdikbud Bagi Parmalim, budaya bukan sekadar panduan spiritual, melainkan serupa suluh bagi kehidupan sehari-hari, ba...
Sipaha Lima. Foto : Kemdikbud |
Bagi Parmalim, budaya bukan sekadar panduan spiritual, melainkan serupa suluh bagi kehidupan sehari-hari, baik di tengah keluarga, masyarakat, maupun bangsa dan negara.
Pengakuan leluhur Batak terhadap kuasa Mulajadi Nabolon (Pencipta Semesta) tidak sebatas pribadi yang kudus. Tapi juga sebagai sosok yang berdaulat atas alam, manusia, dan seluruh sendi kehidupan, termasuk di dalamnya, berdaulat atas seni dan budaya yang melekat di tengah masyarakat.
Jika di masa sebelum memulai bercocok tanam, leluhur Batak menggelar ritual manganjab, berdoa memohon kesuburan tanah, maka setelah panen, mereka menyelenggarakan tradisi Sipaha Lima, untuk mensyukuri nikmat atas hasil panen yang diberkati Mulajadi Nabolon.
Di pusat pemukiman Parmalim, di Desa Huta Tinggi, Laguboti, Kabupaten Tobasa, Sumatra Utara, tradisi Sipaha Lima jamak dijalankan setiap tahun. Malim merupakan agama leluhur Batak. Sedangkan Parmalim artinya orang yang menganut agama Malim. Agama leluhur ini berkiblat kepada Raja Sisingamangaraja XII.
Agama ini didirikan oleh Raja Mulia Naipospos. Pada masa penginjilan yang dijalankan oleh misionaris Ingwer Lodewyk Nommensen di Tanah Batak, Raja Mulia sempat mengabdi di Gereja HKBP Hutahaean Laguboti sebagai Guru Huria. Namun sejak keluar dari HKBP, Raja Mulia Naipospos fokus mendirikan dan membesarkan agama Malim. Saat ini populasi Parmalim diperkirakan mencapai 6.000 jiwa. Mereka tersebar di antero Nusantara. Huta Tinggi merupakan pusat pemukiman Parmalim.
Bagi Parmalim, budaya bukan sekadar panduan spiritual, melainkan serupa suluh bagi kehidupan sehari-hari, baik di tengah keluarga, masyarakat, maupun bangsa dan negara. Kebudayaan dan kearifan lokal adalah benteng pertahanan dari serangan budaya asing yang berseberangan dengan nilai-nilai agama dan tradisi itu.
Dalam ritual ini Sipaha Lima, masyarakat Parmalim menggelandang seekor kerbau ke altar sebagai kurban persembahan. Kerbau itu dinamai Horbositikko tanduk siopat pisoran. Prosesi ritual dipimpin oleh Raja Ihutan Poltak Naipospos, sebagai pengganti dari Raja Ihutan Marnakkok Naipospos yang telah wafat.
Kegiatan ritual itu diikuti orang tua, remaja, bahkan anak-anak. Ritual diiringi musik Ogung Sabangunan (alat musik tradisional Batak Toba seperti Tagading, Sarune, Ogung, Doal, Pangkeseki) dan umat Parmalim manortor (menari) sahadaton mengiringi penyerahan sesembahan kepada Tuhan. Sesembahan berupa seperti ayam, kambing, ikan yang sudah dimasak, dan jeruk purut di dalam cawan yang sebelumnya sudah didoakan di dalam bale parsantian (rumah ibadah).
Para umat Parmalim mengenakan pakaian berbeda untuk laki-laki dan perempuan. Perempuan harus mengenakan kebaya, ulos, sarung, dan rambutnya diharnet. Sedangkan laki-laki memakai kain putih yang diikat di atas kepala serupa sorban (tali-tali, dalam bahasa batak) untuk yang sudah menikah, ulos, dan sarung. Khusus untuk pucuk pimpinan Parmalim, mereka memakai ulos yang di atasnya dilapisi kain putih. Sedangkan anak-anak mengenakan sarung dan rambut harus diharnet dengan rapi. Seluruh umat yang menghadiri prosesi ritual itu diwajibkan tidak boleh memakai alas kaki di sekitar kompleks peribadatan karena tempatan peribadatan itu dipercaya sakral dan kudus.
Saat tengah hari, Ogung Sabangunan bertalu-talu. Pucuk pimpinan Parmalim keluar secara berbaris dari dalam bale parsantian. Tangan mereka sembari merapalkan doa demi mengirimkan persembahan yang disusun oleh Raja Ihutan kepada Mulajadi Nabolon. Mereka merangsek menuju langgatan (panggung utama yang ada di halaman).
Di tengah halaman, seekor horbo (kerbau) diikat pada sebuah tiang Borotan, tepat di sebelah langgatan. Kerbau itulah yang kemudian disembelih untuk dikurbankan. Parmalim percaya, borotan merupakan simbolis bagaimana manusia harus memperlakukan lingkungan.
Jika manusia menebang satu batang pohon, maka harus menanam kembali satu pohon supaya menjaga keseimbangan alam. Bersahabat dengan alam menjadi satu ajaran sekaligus didikan yang kentara pada komunitas masyarakat Parmalim.
Ketua Punguan Parmalim Monang Naipospos mengatakan, ritual Sipaha Lima adalah puncak dari matumona yakni persembahan atas hasil usaha atau pekerjaan mereka yang diberkati Mulajadi Nabolon selama setahun. Ritual ini biasanya berlangsung tiga hari penuh dari pagi hingga malam.
Sebelum acara puncak, umat Parmalim terlebih dahulu mengadakan acara matumona di rumah masing-masing. Tiap-tiap keluarga menyisihkan hasil panen pertamanya untuk dipersembahkan kepada Tuhan. Sebab, masyarakat Batak dominan bergantung hidup pada pertanian, maka hasil panen pertama harus disimpan di lumbung untuk dipersembahkan kepada Mulajadi Nabolon.
Hasil panen pertama itulah yang kemudian dibawa untuk dipersembahkan pada ritual akbar Sipaha Lima. Ritual ini biasanya diselenggarakan pada bulan kelima, sesuai penanggalan kalender Batak. Dan sebulan mendahului ritual Sipaha Lima, umat Parmalim wajib mempersembahkan ugasan torop (sokong tiga pikul hasil panen) per kepala keluarga atau lebih kepada kepala punguan.
Ugasan torop itu serupa iuran gotong-royong. Biasanya digunakan untuk keperluan sosial seperti menolong sesama warga Parmalim. Bagi warga perekonomiannya lemah, mereka dibebaskan dari kewajiban tersebut.
Jika dulu masyarakat dominan hidup di sektor agraria, sekarang generasi Parmalim telah merambah berbagai macam profesi. Dengan prinsip serupa, maka mereka yang bekerja di luar profesi petani namun mendapat upah bulanan, gajinya itulah yang dipersembahkan. Besarannya disesuaikan dengan nilai hasil ladang di masa-masa agraria dulu.
Monang mengatakan, umat Parmalim teguh menjaga adat istiadat dengan alasan kebudayaan Batak sudah menjadi patron di dalam kehidupan sehari-hari. Kesungguhan menjaga budaya dan tradisi ini demi merawat keluhuran budaya yang diwariskan leluhur. Budaya adalah saringan yang efektif terhadap gempuran budaya asing.(K-DH)
Sumber : Indonesia.go.id
No comments
Harap memberikan komentar yang mendukung kemajuan blog ini.
Terimakasih!!!